Sabtu, 03 April 2010

Di saat dia masih ada . .

Jangan sampai kita lalai dengan urusan dunia, dan menganggap keluarga, terutama ibu kita, bisa kita temui kapan saja, sehingga kita cenderung untuk menunda pertemuan.
Walau hanya untuk sekedar bertatap muka, menanyakan kabar, atau berbasa-basi.
Walau hanya lima menit.
Kita tak pernah tahu,
Jangan sampai setelah lama tak bertemu, tak berkomunikasi, pada saat mengunjungi mereka, mengenjungi ibu kita, beliau sudah dalam keadaan tidak bernyawa . .

Jumat, 02 April 2010

Arti Seorang Ibu

Tadi waktu bersih-bersih kamar, aku nemuin buku Chicken Soup for the Mother's Soul: Bunga untuk Ibu, di tumpukan buku-buku SMP dulu. Buku itu aku beli sekitar 1 tahun yang lalu. Cerita yang paling aku suka, ada di halaman pertama, judulnya "Hari Ibu" oleh Niki Sepsas, semoga nggak ada yang keberatan cerita itu aku tulis disini.

HARRY IBU – Niki Sepsas
Dua puluh enam tahun sudah berlalu sejak aku dan teman tentaraku, Dan, mengisi mobil Corvette 427 miliknya yang berwarna biru metalik itu dengan kotak es, celana, dan kaos, lalu melaju melewati polisi militer yang berwajah serius di gerbang utama Fort McClellan. Dipersenjatai dengan izin akhir pekan dan saku berisi lembaran uang baru dari upah minggu pertama kami di perkemahan musim panas Pasukan Cadangan, kami sedang menuju Florida-dan Pasukan sudah tak lagi kami pikirkan. Beruntung tak menemukan nama kami dalam tugas akhir pekan, kami memutuskan berakhir pekan di pantai sebagai obat mujarab untuk memulihkan diri dari empat hari bersama ransum dan nyamuk di perbukitan Alabama timur.


Perkemahan kami tahun itu dilaksanakan lebih awal. Cuaca bulan Mei sangat menyenangkan, dan dengan atap terbuka dan kaset suara nyaring, kami melaju mamasuki Birmingham dan memutuskan berhenti untuk menelepon ibu kami dan mengucapkan selamat Hari Ibu sebelum meneruskan perrjalanan kami ke selatan pada jalan 1-65.


Pada saat menelepon, ibuku di rumah, aku diberitahu bahwa ia baru saja pulang berbelanja. Aku tahu dari nada suaranya bahwa ia kecewa, aku tak akan melewatkan hari istimewa itu bersama keluarga. “Selamat bersenang-senang dipantai dan hati-hati. Kami kangen padamu,” katanya.


Waktu aku kembali ke mobil, aku tahu dari wajahnya bahwa Dan juga merasa bersalah seperti diriku. Lalu kami mencari-cari ide. Mengirim bunga, tentu.


Kami berbelok ke lapangan parker took bunga Birmingham selatan, lalu kami masing-masing menulis kartu untuk menyertai bunga yang akan menghilangkan rasa bersalah karena kami melewatkan satu-satunya akhir pekan kami di pantai, bukan bersama ibunda tercinta.


Kami menunggu sementara penjaga toko membantu seorang anak kecil yang sedang memilih karangan bunga, pasti untuk ibunya. Kami sekarang sudah gelisah, ingin segera membayar bunga itu dan melanjutkan perjalanan.


Anak kecil itu berbinar dengan rasa bangga saat menghadap kami dan menunjukkan pilihannya sementara penjaga menghitung harga pesanannya. “Ibuku pasti senang yang ini,”katanya. “Ini bunga nyeilr, Ibu memang suka bunga anyelir.”


"Kami akan merangkainya dengan beberapa tangkai bunga dari halaman kami,” tambahnya “sebelum kubawa ke makam”


Ia memandang penjaga toko, yang berbalik dan mengeluarkan sapu tangan. Lalu aku menoleh pada Dan. Kami memandang anak kecil itu meninggalkan toko membawa karangan bunganya dan masuk ke bangku belakang mobil ayahnya.


“Kalian sudh selesai memilih?” Tanya penjaga toko itu, hampir tak bisa berbicara.


“Rasanya sudah,” jawab Dan. Kami membuang kartu kami di tempat sampah dan berjalan ke mobil tanpa berbicara.


“Aku jemput kau hari Minggu sore sekitar jam lima,” kata Dan, saat ia berhenti di depan rumah orangtuaku.


“Aku tunggu,” jawabku, seraya menarik tasku dari belakang mobil.


Florida harus mennunggu.

Waktu pertama kali, selesai mbaca cerita itu, dengan air mata yang nggak bisa lagi ditahan+ isakan, aku nulis di halaman depan buku itu
"Jika suatu saat nanti aku terbangun dan mendapati diriku terbaring di lautan rumput hijau yang segar dengan seorang bidadari di sampingku. Aku akan meminta tolong kepadanya untuk menyampaikan salamku ke Ibu."
Aku ngrasa banyak orang beruntung masih bisa melihat, bertemu dengan orang yang melahirkan mereka, kapanpun mereka mau, tapi tidak dengan aku. Yang bisa aku lakukan dalam 6 tahun terakhir hanya berdoa, melihat wajahnya dibeberapa foto, dan membayangkan seandainnya dunia nyata ini seperti film, dimana aku diberi kesempatan 1 hari, 1 hari saja untuk bertemu dengannya. Tapi aku tahu itu tidak mungkin.

Siapa yang merelakan perutnya membesar dan melar selama 9 bulan?

Siapa yang rela menanggung sakit tiada tara hingga nyawa menjadi taruhan demi melahirkan, mengeluarkan bayi yang besar dari lubang yang kecil?

Siapa yang rela bangun tengahmalam demi meneteskan air susunya untuk meredakan tangis kita?

Siapa yang tiada lelah mengawasi, melindungi kita dari kejadian-kejadian yang tak diinginkan?

Siapa yang mengasihani kita tatlaka ayah marah karena nilai ulangan kita jelek?

Siapa yang tiada henti berdoa tatlaka kita hendak menjalani Ujian?
Jangan sampai kita ada dalam kondisi shock, dengan tangan memegang Al Qur'an, dikelilingi orang-orang yang membaca Surat Yasin, dimana beberapa diantara mereka berpesan "Di iklaskan saja, yang sabar ya . ."
Namun yang ada dalam pikiran kita hanya berupa penyesalan karena telah menyia-nyiakannya.